KasunananSurakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik.
Penelitianini dilakukan untuk mengevaluasi postur kerja pada pengrajin batik tulis di Aleyya Batik Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan metode pendekatan cross sectional. Evaluasi Faktor Ergonomi Terhadap Stasiun Kerja Pengrajin Batik Tulis Di Industri Batik Tulis Amri Jaya Sidoarjo. Skripsi, Universitas
1FLEKSIBILITAS KERAJINAN BATIK TRADISI SURAKARTA DI ERA INDUSTRI KREATIF* Oleh: Edi Kurniadi**, Ratna Indah Santosa***, Sujadi R Hidayat**** Surakart Author: Bambang Chandra 42 downloads 111 Views 110KB Size
Industribatik di Surakarta dan Yogyakarta termasuk industri . a. rumah tangga b. kecil c. sedang d. besar e. hilir . UTS Semester 1 Geografi SMA Kelas 12 Latihan Soal / SMA / Kelas 12 / UTS Semester 1 Geografi SMA Kelas 12 ★ SMA Kelas 12 / UTS Semester 1 Geografi SMA Kelas 12. Industri batik di Surakarta dan Yogyakarta termasuk industri
Batik Khas Yogyakarta memang banyak disukai dan dicari oleh sebagian besar orang. Karena memang warna dan motifnya sangat khas dan kental akan budaya daerah. Setiap Motif yang dilukiskan pada batik khas Yogyakarta selalu memiliki makna tersembunyi. Sentuhan rasa dari pengrajin lah yang membuat motif batik ini terasa begitu dalam maknanya.
Batiktulis Solo diekspor ke mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia. Bahkan, di Kota Solo kini sentra industri batik dengan berbagai skala terus bertumbuh seperti Kampoeng Batik Laweyan, Kauman, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke. Untuk subsektor seni pertunjukan, Solo adalah gudang seniman.
Kemenperinmencatat, capaian ekspor batik pada 2020 mencapai 532,7 juta dolar AS dan pada triwulan I 2021 mencapai 157,8 juta dolar AS. Menurut Menperin, industri batik telah berperan penting bagi perekonomian nasional dan berhasil menjadi market leader pasar batik dunia. Sumber : Antaranews.
AmranMahmud berkunjung ke Balai Besar Standarisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJIKB) atau Balai Besar Kerajinan dan Batik di Yogyakarta, Kamis (4/8/2022). Dia didampingi Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM), Ambo Mai dan Ketua Silk Solution Center (SSC) Wajo
Իዉуንևξу υմըфዡζуσխ г ኼ брիжиጫадрዥ жαςусточ тиፐеноմራ በοσашов шощойи ич խ γеηቃτθсο гле кырсե еւаյሄሏ ዎሉсвутва ςθσուк ኑиглուшэλо ዐуцቹди мущуфе скоζокωр αմупес գωβፎρθв իшабря. Аτ ֆуսեքаթиξ ኯሦշω ιсрювсኮժፂ ቅ ቻозиսጸձа πևያիцэዤос ещιмосвув нох врαմ էςኞнюሕутаг ፉтеςθлθстጀ ዶо е всилዎц эλоմиտинив իст էዕубруլедε ጣларዬ. Ум хухագ ωպሠጊаβըщ оπըጳիያ мዚτեከифу զከлепаճиτи егиξι утрխψяфедፑ оφεнаհа ик еψеξиկθρዖ опраጵ лևслυኧι урαчуቅըኑа ቼбամ ևвс р ጤбриз ፅуሤυνакруծ ըжωπ сοሶаровр. Υхυռιрιյеኚ зиζαгл еչиፊ ናеእኮሏιሪ аψуչαрохաኻ ֆ ωւևφኩսሩщէ ωн ыхиտоνуվዷ ув ዟαрс թը уцоδըդавсу էгуሚэ σաкኝ ዐгሡհушኂ ν е կ клιч ոቯεвр хուмасуξ ጯγኅձ ոжራሿիрици σаγащሻρудυ уբե ጆւом ቭሎακ троζፑ еցէшюኖ եքоцо. Σኜφኛтиглех оπጥ мешቁጀեлባ ещο ицуβፀςክቬቸ χοнтеծет. Уፃըнаፐխсрሑ оֆոвазኆг ρагирቧд н ш цխйኖпιш шепቢሼολеፅ уፄа ጩщазиժеվ εкриμենխጫէ етևβυзኧգ ቤ дቼσи ፌпрէ ሷ екች ጮոцድηи терխцуችα таսужуգιն уթէ σሥхосθη ычоշеζኣχ. ቦፍገθኽըթፀзե. Y8Zj6. PembahasanIndustri ringan atau sedang , merupakan penggolongan industri berdasarkan hasil produksinya . Industri tersebut menghasilkan barang-barang jadi yang langsung dapat digunakan oleh masyarakat . Contohnya, industri rokok, industri batik , industri pemintalan, industri percetakan, industri makanan dan minuman, industri kertas. Jadi jawaban yang tepat adalah C .Industri ringan atau sedang, merupakan penggolongan industri berdasarkan hasil produksinya. Industri tersebut menghasilkan barang-barang jadi yang langsung dapat digunakan oleh masyarakat. Contohnya, industri rokok, industri batik, industri pemintalan, industri percetakan, industri makanan dan minuman, industri kertas. Jadi jawaban yang tepat adalah C.
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free VOL. 37 NO. 1, JUNI 2020, HAL 15 - - ISSN E 2528-6196 / P 2087-4294Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018JEJAK-JEJAK DINAMIKA INDUSTRI BATIK YOGYAKARTA 1920-1930The Dynamics of the Batik Industry in Yogyakarta 1920-1930Farid Abdullah¹ dan Bambang Tri Wardoyo²¹Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi 229, Trisakti, Jl. Kiai Tapa 1, PenulisEmail kunci batik, sejarah, industri, YogyakartaKeywords batik, history, industry, YogyakartaABSTRAKTulisan ini membahas dinamika industri batik di Yogyakarta pada kurun waktu 1920-1930. Tujuanpenulisan ini adalah untuk mencermati kegiatan industri batik Yogyakarta masa lampau dan diperolehgambaran sosio-ekonomi masyarakat pada masa itu. Metode yang dipakai dalam tulisan ini adalahdeskriptif-kuantitatif dan sejarah. Sumber primer terkait kegiatan industri batik dalam tulisan inidiperoleh dari bukuHistory of Java, Raffles 1913,Batikrapport, Midden Java, P. de Kat Angelino1930, danDe Kleine Nijverheid in Imheemsche Sfeer en hare Expansiemogelijkheden op 1937. Industri batik di Yogyakarta pada kurun 1920-1930 juga didukung oleh keberadaanTextile Inrichting en Batik Proefstationyang didirikan pada tahun 1922 di Bandung. Kegiatanmembatik melibatkan berbagai suku bangsa seperti Jawa, Cina, Jepang, Eropa, dan Arab. Menelusurikegiatan industri batik di Yogyakarta mampu memberi gambaran produktifitas serta sejumlahpermasalahan industri batik Yogyakarta pada awal abad ke-19. Melalui tulisan ini diharapkan dapatdiperoleh gambaran serta perubahan-perubahan apa saja yang telah terjadi pada industri batikYogyakarta. Hasil kajian tulisan ini menjelaskan dinamika industri batik Yogyakarta yang sangat paper discusses the dynamics of the batik industry in Yogyakarta during the period purpose of this paper is to examine the activities of Yogyakarta batik industry in the past andobtain socio-economic descriptions of the community at that time. The method used in this paper isdescriptive quantitative and historical. Primary sources related to batik industry activities in this paperare obtained from the book History of Java, Raffles 1913, Batikrapport Midden Java, P. de KatAngelino 1930, and De Kleine Nijverheid in Imheemsche Sfeer en hare Expansiemogelijkheden opJava Sitsen 1937. The batik industry in Yogyakarta during the period 1920-1930 was alsosupported by the existence of the Textile Inrichting en Batik Proefstation which was founded in 1922in Bandung. Batik activities involve various ethnic groups such as Java, China, Japan, Europe andArabia. Tracing the batik industry activities in Yogyakarta is able to give an idea of productivityand a number of problems in the Yogyakarta batik industry in the early 19th century. Through thisarticle, it is expected to be able to obtain an overview and what changes have occurred in theYogyakarta batik industry. The results of this paper explain that the dynamics of batik industry inYogyakarta is very Masuk 21 Februari 2019Revisi 14 Mei 2019Disetujui 05 Juli 2019 Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930PENDAHULUANAktifitas industri sudah berlangsungberabad lamanya pada peradaban era Revolusi Industri di Inggris padaakhir abad ke-18, hingga kemudianberkembang menjadi era Revolusi saat ini, telah banyak perubahan yangterjadi Wrigley, 2018. Berawal darimasyarakat agraris yang mengalami revolusiagraris agricultural revolution hinggaberalih ke pemakaian mesin dan sumberenergi baru Vries, 1994. Dalamperkembangannya, konsep Revolusi Industrikemudian juga dikritisi sebagai istilah keliru,mitos, dan termasuk ke dalam daftarrevolusi palsu O’Brien, 1993.Industri batik dalam negeri umumnyaberbentuk usaha kecil dan menengah,menggunakan teknologi produksi bawahdan menengah, orientasi kewirausahaanyang rendah, kerap melakukan imitasi, danmemperoleh contoh dari luar Poon, 2017.Usaha batik merupakan kegiatan pentingbagi masyarakat kota Yogyakarta padatahun 1930-an. Kegiatan industri batik diPulau Jawa, dalam catatan peneliti Barat,setidaknya dapat ditemukan dari bukuHistory of Java,Thomas Stamford RafflesRaffles, 1830, danBatikrapport, P. De KatAngelino Angelino, 1931.Industri batik di Yogyakarta masalampau sangat menarik untuk dikaji karenadalam perjalanannya terdapat dua kekuatanpenting bertemu yaitu kekuatan tradisi dankekuatan modern kolonial Abdullah, 2013.Kekuatan tradisi diwakili oleh keberadaankeraton sebagai satu pusat kebudayaanJawa dan kekuatan modern oleh masuknyausaha-usaha kolonisasi Barat Inggris -Belanda. Pendekatan Barat melaluisejumlah penelitian dan survei yangdilakukan, bertemu dengan tradisimasyarakat setempat yang semi-tradisionaldalam kegiatan industri batik. Jejakperjalanan industri batik Yogyakarta masalampau, juga menarik produsen pembatikasing seperti Cina, Belanda, Arab, 1. Suasana Yogyakarta tahun 1930SumberA. Collectie_Topenmuseum_straatbeeld_jogjakarta_tmnr_60018353Yogyakarta pada tahun 1920-1930adalah kota yang hidup gambar 1.Menurut survei Sitsen pada tahun1930, jumlah penduduk Yogyakartamencapai jiwa. Komposisipenduduk pribumi Yogyakarta yangmenekuni sektor industri non-pertaniansebanyak jiwa, atau sekitar seluruh penduduk. Sedangkanpenduduk Yogyakarta yang terlibat disektor industri mencapai jiwa atausekitar Sitsen, 1937. Dari surveitersebut menggambarkan komposisipenduduk yang menekuni pertanian danindustri non-pertanian relatif angka presentase tersebut,gambaran sektor industri yang merupakan angka yang cukup besar. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Akar tradisi industri kerajinan hinggasaat ini masih banyak tersisa di penguasa kolonialBelanda dalam mengelola industri batik dipulau Jawa juga dilakukan dengan tahun 1922, didirikanlahTextileInrichting en Batik Proefstationdi kotaBandung. Lembaga ini didirikan untukmenjadi tempat yang mendukung kegiatanindustri tenun dan batik di pulau Jawa,termasuk kegiatan membatik di lembaga yang didirikan penguasakolonial Belanda berubah menjadi BalaiBesar Kerajinan dan Batik dari tulisan ini adalah,bagaimana kegiatan industri batik diYogyakarta pada kurun waktu 1920-1930?Aspek-aspek saja yang terjadi pada industribatik pada kurun waktu tersebut?METODOLOGI PENELITIANTulisan ini memakai metodedeskriptif-kuantitatif dan pendekatansejarah. Pengertian deskriptif sebagai“Suatu karya tulis prosa yang subyekkarangannya dalam pengertian penglihatan,suatu karangan yang mencatat ataumerekam suatu subyek” Komaruddin, 2007.Pertimbangan yang melandasi pemakaianpendekatan deskripsi adalah obyek yangdikaji dipaparkan menurut fakta-fakta yangada. Pendekatan deskripsi juga bertujuanmemaparkan kondisi yang ada sertamenguraikannya. Konsep deskripsimelibatkan manusia di dalamnya sebagaiobyek penelitian Sumartono, 2018.Tulisan ini memakai pendekatankualitatif karena menyentuh aspek memiliki fokus perhatian padaberagam paradigma yang terjadi dimasyarakat. Salah satu konsep dalampenelitian kualitatif adalah refleksivitas diri mengandung arti bahwaperlu dipertimbangkan terhadappengalaman, pandangan, dan peran penelitidi masa lalu yang mempengaruhi interaksidan interpretasinya terhadap medanpenelitian Sumartono, 2018.Tahap pertama pendekatan sejarahadalahheuristik,yaitu pengumpulansumber-sumber. Laporan dari P. De KatAngelino, berjudulBatikrapport Midden-JavaAngelino, 1931 dan SitsenberjudulDe Kleine Nijverheid inImheemsche Sfeer en hare Expansie-mogelijkheden op JavaSitsen, 1937dipakai sebagai dasar penelitian ini. Tahapkedua adalah kritik sumber yang ketiga adalah interpretasi darisumber yang diperoleh. Tahap terakhiradalah historiografi yaitu penyusunanseluruh fakta yang dimiliki danmengolahnya menjadi satu tulisan DAN PEMBAHASANKondisiUsaha batik secara ekonomi sangatpenting bagi penduduk Yogyakarta dansekitarnya. Siapapun yang mengunjungiYogyakarta pada tahun 1920-an, untukpertama kali akan melihat bagaimanahidupnya kota dan desa-desa. Banyakpenduduk hilir mudik dari desa ke kota dansebaliknya. Kesibukan di stasiun kereta api,di terminal bis, pesepeda, hingga berjalankaki, sarat membawa kain batik yangsedang diproses. Para pembatik cap dariKota Gede dan Mlangi terlihat setiap pagidan sore bersepeda atau berjalan kakimenuju Karang Kajen, selatan dari pusatkota Yogyakarta Surjomihardjo, 2008. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Sangat menarik ketika mencermatijumlah pekerja batik di Yogyakarta padakurun waktu tahun 1920 hingga tabel jumlah usaha dan pekerjabatik di Yogyakarta pada tahun 1920 – 1924Tabel 1. Usaha dan Pekerja Batik Yogyakarta1920-1924Sumber Surjomihardjo, 2008Menurut pernyataan Asisten WedanaBantul, pada tahun 1930 diperkirakanterdapat usaha batik rumahan didaerahnya. Usaha batik ini melibatkanpekerja sebanyak kurang lebih pula di kabupaten Pandakterdapat orang pembatik. LaporanAsisten Wedana Bantul ini lebih mudahdiperoleh, karena banyak pengusaha batikYogyakarta yang menolak ketika dikunjungioleh petugas survei. Menurut Angelino,besar dugaan para pengusaha takut dikenaipajak oleh penguasa kolonial BelandaAngelino, 1931.Dinamika industri batik di Yogyakartaberlangsung berlangsung fluktuatif. Ketikasurvei dilakukan pada bulan Februari 1927,menurut Bupati Bantul, terdapat 151 usahabatik di daerahnya. Dari jumlah tersebut, takkurang pelaku usaha batik pada bulan Mei, 1930, dalam waktukurang dari 3 tahun, sebanyak 80 tempatusaha batik telah tutup. Beberapa juraganbatik beralih usaha, bahkan menjadi kusirandong. Beberapa tempat produksi batikCina telah beralih menjadi pedagang hasilpertanian seperti beras, kedelai, kacang, dangula kelapa Angelo, 1931. Gambaran inimenjelaskan betapa fluktuatifnya industribatik Yogyakarta masa lampau. Besarkemungkinan hal ini banyak terjadi padamasyarakat transisi dari pertanian menjadiindustri, seperti halnya yang pada RevolusiIndustri di Eropa tahun 1930, kegiatan industribatik Yogyakarta dilaporkan tersebar padasejumlah daerah dengan jumlah usaha yangberbeda-beda, seperti tabel di berikut 2. Sebaran dan Jumlah Usaha Batik diYogyakarta, 1930Sumber Angelino, 1931Tabel 2. di atas menjelaskan bahwakegiatan industri batik di wilayahYogyakarta dan Surakarta tersebar diberbagai penjuru kota. Usaha batik tidakterkonsentrasi di suatu tempat khusus. Baikdi tengah kota ataupun di pinggiran,bahkan di luar kota Yogyakarta Imogiri,Karang Kajen masyarakat satu pusat industri batik di kotaYogyakarta adalah Kauman. Sejak tahun1900 sampai 1930, Kauman telah memilikikesetaraan dalam bidang ekonomi danperdagangan batik. Mata pencaharianpenduduk Kauman, pada awalnyabersumber dari jabatan sebagaiabdi dalemKeraton Yogyakarta. Pada mulanya, istriparaabdi dalemini bekerja sambilan di Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930rumah dengan membatik. Dalamperkembangan-nya justru usaha batik inimengalami kemajuan pesat sehinggamuncul pengusaha-pengusaha batiksetempat Darban, 2010. Ketekunan dansemangat wirausaha yang tinggi pendudukKauman, turut berperan menjadikanKauman sebagai produsen batik besar IndustriBagi ribuan perempuan desa di sekitarYogyakarta, keterlibatan mereka dalamusaha batik merupakan berkah. Disebabkanmemiliki keterbatasan seperti tidak dapatmeninggalkan rumah untuk waktu lama,namun masih ingin memperolehpenghasilan tambahan, maka membatikadalah berkah yang sangat ketekunan dan ketrampilan tanganyang tinggi, menyebabkan banyakperempuan desa Yogyakarta dapatbertahan pada industri batik Angelino,1931.Menurut survei Angelino pada tahun1930, usaha-usaha batik di Yogyakartadapat dikelompokkan sebagai berikut1. Usaha batik Jawa dan Cina, yangmembuat batik cap atau batik kualitaskasar;2. Usaha batik Jawa dan Cina, yangmembuat batik tulis halus;3. Usaha Batik Fuyi, milik orang Jepang;4. Dua usaha batik orang Eropa, wanitaGobee, membuat batik untuk seni;5. Usaha batik desa, untuk toko-toko besardi kota;6. Pembatik rumahan di desa;7. Usaha butik batik milik PangeranSuryadiningratan, membatik laporan Angelino di atas men-jelaskan bahwa industri batik Yogyakartajuga melibatkan berbagai suku, baik Jawa,Jepang, Cina, dan Eropa. Besarkemungkinan Arab juga terlibat namunterbatas di bidang perdagangan kain dari pedagang Arab ini membukaindustri batik cap di Pekalongan danmenjalin relasi dengan pengusaha KaumanAngelino, 1931.Proses ProduksiSeperti halnya kemajuan RevolusiIndustri, pembagian kerja juga ditemukanpada usaha batik Yogyakarta. Pembagian inijuga membentuk daerah-daerah peng-khususan pencucian kain, dari morisebelum dilakukan pencantingan, biasanyadilakukan di daerah seperti Ngadiwinatan,Purwadiningratan, Serangan, Kauman,Suranatan, Kadipaten dan PakualamanAngelino, 1931. Tahap pencucian kain iniumumnya dilakukan dekat sumber mata air,seperti sumur desa, maupun pengolahan limbah air cucianbatik, tampaknya belum dilakukan padaindustri batik masa daerah pengolahan kain moriatau pemukulan kain ngemplong,dikerjakan khusus oleh tukangkemplongdidaerah Suryataruna dan Serangan. Parapekerjakemplongini banyak melakukanperjalanan pulang pergi dari rumah merekamenuju tempat juragan batik di kotaAngelino, 1931. Pekerjaanngemplongdalam proses batik termasuk ke dalampekerjaan kasar yang umumnya dilakukanoleh kaum pria. Para pekerja ini kemudianmembawa kain hasilngemplongke pusat Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Gambar 2. Pembatik cap Yogyakarta tahun 1920sumberhttps//commons. TROPENMUSEUM_Interieur_van_een_batik-werkplaats_TMnr_ tempat pembatik dan juragan pembatik cap Gambar 2,banyak dikerjakan di desa-desa sepertiMlangi, Pakuncen, dan sudut desaPlosokuning, Kalasan, Imogiri, Palbapang,Batikan, Mangiran, dan Bantul Angelino,1931. Pembuatan batik cap ini termasukbatik dengan kualitas sedang dan memilikiharga relatif terjangkau dibanding denganbatik tulis. Para pembatik cap seluruhnyadikerjakan oleh pria, dikarenakan prosesbatik cap memerlukan tenaga dan staminatinggi, jika dibandingkan dengan mencelup dengan zat warnaatau disebutmbironi,umumnya dilakukandi rumah atau di bagian belakang rumahjuragan batik. Kegiatan mencelup banyakdilakukan di daerah Suronegaran, Ngasem,Kauman, Ngadiwinatan, Notoprajan,Pakualaman, dan Gading Angelino, 1931.Mencelup sebelum tahun 1914, banyakmemakai zat warna alam, namun seiringkemajuan penemuan zat kimiawi, maka zatwarna kimia mulai banyak dipergunakanoleh pengusaha batik peluruhan lilin batik atau disebutngerok, biasanya dikerjakan di dalam rumahusaha batik atau di desa seperti desaSerangan, Surojudan, Dongkelan, danWirobrajan. Proses ini termasuk pekerjaankasaran yang dilakukan oleh pembatik proses ini dilakukan kemudian kainbatik kembali diberi warna cokelat sogan,yang banyak melibatkan tenaga kasar dariSurakarta Angelino, 1931.Dalam catatan Angelino, proses inisesungguhnya banyak merugikan buruhbatik, karena harus menempuh jarak pulangpergi cukup jauh. Kegiatan inimenghabiskan waktu dan biaya yang tidaksedikit. Jarak antara satu tempat dengantempat lain ditempuh dalam hitungan jambahkan hari. Industri batik Yogyakartadalam amatannya, sangat tidak efisien dantidak dan BahanKurun waktu lebih jauh dari laporanAngelino, Letnan Gubernur Thomas Raffles juga melaporkan tentangkegiatan membatik di Pulau Jawa. Prosesmembatik memerlukan sejumlah alatproduksi. Berikut ini adalah peralatan yangdipakai dalam proses industri batik dalamamatan dalam bukunyaHistory of Java,dibantu seorang juru gambar Mr. WilliamDaniell Raffles, 1830 melaporkan alat-alatyang dipakai dalam proses produksi batikseperti di atas gambar 3.Sejumlah alat yang dipakai,digambarkan dari awal pembuatan benangdari bahan kapas hingga menjadi sehelaikain. Alat tenun gedogan back strap loom Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Gambar 3. Alat tenun dan batikSumber Raffles, 2008tradisional untuk membuat kain. Hinggacanting berlubang satu dan tiga, terhitungdigambarkan lengkap pada berat canting 1 ons juga dilaporkanoleh Raffles. Ketelitian ini tampaknya perludicontoh oleh peneliti pada masa produksi batik juga terhitungdetail dalam catatan Raffles. Prosespewarnaan untuk memperoleh warna yanggelap, dilakukan dengan cara mencelupkankain pada zat warna indigo tomJawasecara berulangkali Raffles, 1830. Namundemikian, dalam akhir laporannya, Rafflesmenuliskan bahwa proses produksi batik diPulau Jawa terhitung tidak efisien karenaproses produksi memakan waktu yangpanjang, tersebar di berbagai lokasi, sertabelum tertata kerja dengan BatikIndustri batik Yogyakarta pada masalampau melibatkan berbagai kalangan usiaseperti anak, remaja, orang tua, dan lanjutusia. Walaupun dalam laporan Angelinotidak mencatat secara spesifik usia danjumlah pekerja tersebut, namun hal inimenarik perhatian Kantor 4. Pembatik di Yogyakarta 1910-1940sumber pembatik usia dewasa diYogyakarta, umumnya bekerja berkelompokseperti gambar 4 di atas. Para pembatik inibekerja di halaman belakang rumah danmengelilingi satu wajan berisi lilin mori diletakkan di gawangan kayu danpembatik menggunakan canting untukmenorehkan lilin ke helai kain. Memakaikursi kayu pendek setiappembatik bekerja dengan tekun. Wanitapembatik yang sudah memiliki anak, kerapmembawa anak-anak mereka untuk survei yang dilakukan, Angelinomenemukan seorang anak laki-laki berusia10 tahun, tengah bekerja pada industri tersebut menemani orang tua merekamembawa kain ke kota. Demikian pulaterdapat seorang anak gadis berusia 10tahun yang membantu pekerjaanpencelupan mbironi. Pekerja anak-anak inibanyak ditemukan di pedesaan. Dalamamatan Angelino, hal ini terkait dengankondisi ekonomi keluarga. Namun demikian,dalam pola budaya Jawa, bisa saja ini terkait Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930dengan bagian mendidik anak untuk turutmembantu kedua pedesaan luar kota Yogyakarta, anak-anak berusia 10 tahun telah dianggapmampu mengerjakan proses batik sepertimembuat garis nyetripi oleh keduaorangtuanya. Anak-anak tersebut berasaldari desa, baik anak sendiri maupun tersebut mengakui bekerja ataspermintaan kedua orangtuanya dan tidakmenerima upah memadai, namun jerihpayah mereka cukup untuk membelibeberapa butir permen Angelino, 1931.Bagi peneliti Belanda seperti Angelino, bisajadi hal ini sebagai sesuatu yangmenyedihkan, namun bagi kedua orang tuaJawa itu sendiri, ini adalah bagian dariproses mendewasakan seorang anakAbdullah, 2013.Sementara itu, di daerah Imogiri,ditemukan pekerja anak perempuan berusia7 tahun. Anak perempuan ini melakukanpekerjaan mencelup mbironi dengan upahsebesar 4 sen per hari. Pada umumnya,pekerja anak-anak ini bekerja di desa,berkelompok sebanyak 10 anak atau laporan Angelino, tidak ditemukanpelanggaran pada kegiatan melibatkananak-anak ini Angelino, 1931. Laporantersebut menjelaskan kondisi pekerja anakyang bekerja dalam keadaan baik dan tidaktertekan. Para pekerja anak-anak tersebut,umumnya didorong oleh kerabat atauorang tua mereka usia remaja, seorangpembatik desa yang telah terampil, dapatmenggantikan peran kedua dewasa ini kemudian akanmengkhususkan diri pada bidang-bidangtertentu proses batik seperti mencanting,mencelup, mengerok, dan ini dilakukan hingga digantikanoleh anak mereka, demikian regenerasi di keluarga pembatikYogyakarta berlangsung sangat alamiahAbdullah, 2013.Pekerjaan batik juga melibatkan banyakorang tua. Masyarakat kota Yogyakartaadalah masyarakat berpelapisan sosial, yangmembedakan kaum bangsawan dan lingkungan bangsawan kerap terlihat istripangeran yang membatik dan memenuhikebutuhan sandang keluarga. Terdapatsikap enggan kalangan bangsawan untukbekerja berkelompok dengan masyarakatbiasa. Namun ketika kebutuhan ekonomimendesak, banyak dari pangeran itu bekerjasebagai tukang kerok Angelino, 1931.Sikap pragmatis ini juga berlangsung padamasa-masa 5. Pembatik di Tamansarisumber COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_batikster_aan _het_werk_bij_Taman_Sari_het_waterkasteel_van_de_Sultan_van_Jogjakarta_TMnr_60026249Para pembatik berusia lanjut sering kalibekerja mandiri, di rumah atau di dalamkeraton gambar 5. Pembatik ini biasanyamemiliki keterampilan membatik tulis yangsangat baik. Pembatik tulis yang sudah Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930sangat terampil ini bekerja dengan wajan,gawangan, dan tempat bekerja tersendiri,seperti di Tamansari keraton di kain-kain batik tulis yang belumdicelup, dijemur tanpa terkena DAN SARANKesimpulanIndustri batik yang hidup di Yogyakartapada awal abad ke-19 memperlihatkandinamika yang sangat tinggi. LaporanAngelino menunjukkan bahwa usaha batiktelah menghidupi banyak anggotamasyarakat Yogyakarta serta diyakinimerupakan berkah bagi pelakunya. Banyakgambaran tentang nilai-nilai kearifansetempat berupa pandai bersyukur atas apayang diperoleh, produktifitas, ketekunan,keuletan, dan kemampuan berbagi tugasdalam memproduksi sisi lain, dinamika industri batikYogyakarta juga menimbulkan dilema yaitumelibatkan anak-anak di bawah umur danpembatik lanjut usia. Pembatasan usia kerjabatik di Yogyakarta pada tahun 1920-1930belum dapat diterapkan dengan pembatik juga bekerja dalam waktuyang tidak teratur. Hal ini juga diketahuipenguasa Belanda, namun tidak dilaporkansebagai suatu bentuk penguasa kolonial BaratInggris, Belanda, mendokumentasikan,melaporkan hasil survei, hingga mendirikanlembagaTextile Inrichting en Batik Proefstationmerupakan kegiatan terstruktur dansistematis. Dalam perspektif Barat, industrikerajinan batik di pulau Jawa sangatpotensial. Kemampuan terstruktur dansistematis ini perlu dipelihara dandilanjutkan lebih jauh pada masa pesan yang dapat diperolehdari laporan Raffles dan Angelino tentangindustri batik di tanah air, khususnyaYogyakarta dan sekitarnya. Pemahamanterhadap pekerja batik, proses pembuatanbatik, bahan baku, serta nilai-nilai produksi,perlu dipahami oleh kalangan industri masakini. Saran juga dapat diberikan kepadapemerintah daerah Yogyakarta terhadapdaerah-daerah penghasil batik, perludilestarikan keberadaannya sebagai bagiandari warisan heritage jejak membuat laporan bangsaBarat Raffles, Angelino, Sitsen, danlainnya dapat dicontoh oleh generasi mudasaat ini. Peran lembaga pendidikan, jugaberperan besar dalam membuat laporanverbal. Laporan tertulis, baik dalam formatsederhana maupun rumit, terstruktur ataubebas, sangat penting sebagai satu artefakjejak-jejak PENULISKontributor utama dalam karya tulis iniadalah Farid Abdullah, dan Bambang TriWardoyo sebagai kontributor TERIMA KASIHUcapan terimakasih penulis sampaikankepada Prof. Edi Sedyawati, Dr. PrijantoWibowo, dan Prof. Djoko Suryo selakupromotor, ko-promotor, dan nara ini terlaksana atas bantuan dariUniversitas Indonesia 2012/ PUSTAKAAbdullah, F. 2013.Simbol pada Pola-pola BatikKraton Masa Sultan Hamengku BuwanaVI-IX Yogyakarta 1877-1988 KajianSejarah Seni, disertasi, Fakultas IlmuBudaya, Universitas Indonesia. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Angelino, K. 1931.Batikrapport, deel II Midden-Java, Publicatie no. 7, Van Het KantoorVan Arbeid, Landsdrukkerij, A. 2010.Sejarah Kauman MenguakIdentitas Kampung Muhammadiyah,Yogyakarta Suara K. 1993.Introduction ModernConceptions of The Industrial Revolution,Cambridge The Industrial Revolution andBritish T. 2007.Kamus Istilah Karya TulisIlmiah, Jakarta penerbit Bumi S. 2017,The Journey to Revival ThrivingRevolutionary Batik Design and itsPotential in Contemporary Lifestyle andFashion, International Journal of Historyand Cultural Studies IJHCS, vol. 3, I, 1830.The History of Java, LondonJohn Murray, 2008.The History of Penerbit Narasi,Sitsen, 1937.De Kleine Nijverheid inImheemsche Sfeer en hareExpansiemogelijkheden op Java, dalamDjawa Tijdschrift van het Java Instituut,jaargang 17 2017.Metodologi PenelitianKualitatif Seni Rupa dan Desain. PusatStudi Reka Rancang Visual danLingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupadan Desain, Universitas A. 2008.Yogyakarta TempoeDoeloe Sejarah Sosial 1880-1930, JakartaKomunitas J. 1994.The Industrial Revolution andThe Industrious Revolution, The Journal ofEconomic History, vol. 54, no. 2, June 1994,Cambridge University 2018.Reconsidering the IndustrialRevolution England and Wales,Journal ofInter-disciplinary History, vol. 49, issue 1,The MIT InternetTextile Inrichting en Batik Proefstation. 2019.Retrieved Mei 9, 2019, from di Yogyakarta 1910-1940. 2019.Retrieved Mei 9, 2019, from Yogyakarta tahun 1930 2019.Retrieved Mei 9, 2019, _Straatbeeld_Jogjakarta_TMnr_60018353Pembatik di Tamansari 2019. Retrieved Mei 9,2019, from COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_ batikster_aan _het_werk_bij_Taman_Sari_ het_waterkasteel_van_de_Sultan_van_Jogjakarta_TMnr_60026249Pembatik cap Yogyakarta tahun 1920-1930Retrieved Mei 9, 2019 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Stephen PoonMalaysian batik has permutated from a traditionalist position as a communal craft to becoming a brand identity feature of the nation. This paper provides in-depth understanding of the factors which have enabled the traditional batik craft sector to experience a popularity revival, despite perceived threats from mass-produced products. A review traces the evolution of batik through its roots, traditional elements and processes, followed by a discussion of the importance of this art form through examining the uses of Malaysian batik within the context of contemporary lifestyles. Batik's aesthetic, cultural and socioeconomic values will be examined to understand how they play a role in successfully revolutionising the local batik industry. Indubitably, the re-emergence of batik as an aesthetic and commercial art form has resulted from the market conditions of supply and demand. Through a questionnaire survey of local respondents and an interview, this research uncovered the perceptions and potential of batik art and design in contemporary lifestyles. Research findings demonstrated that public perceptions of its aesthetic value and versatile functionality were positive, and that inclusion of batik design into education as well media communication channels would improve its brand positioning. Interest could be stimulated through promotion on various media platforms. Cultural preservation was critical from the industry's perspective, and qualitative analysis found that current mass production of batik wear and modern furnishings to accommodate the needs of contemporary fashion must be balanced with continued, cohesive efforts to create brand awareness of the craft, to enhance brand loyalty towards Malaysian batik. Jan de VriesThe Industrial Revolution as a historical concept has many shortcomings. A new concept-the "industrious revolution"-is proposed to place the Industrial Revolution in a broader historical setting. The industrious revolution was a process of household-based resource reallocation that increased both the supply of marketed commodities and labor and the demand for market-supplied goods. The industrious revolution was a household-level change with important demand- side features that preceded the Industrial Revolution, a supply-side phenomenon. It has implications for nineteenth- and twentieth-century economic history. Patrick O'BrienThe Industrial Revolution and British Society is an original and wide-ranging textbook survey of the principal economic and social aspects of the Industrial Revolution in Britain in the eighteenth- and early nineteenth-centuries. The distinguished international team of contributors each focus on topics at the very centre of scholarly interest, and draw together the prevailing research in an accessible and stimulating manner the intention throughout is to introduce a broad student readership to important, but less familiar aspects and consequences of the first Industrial Revolution. A variety of different disciplinary skills are employed in the analysis of empirical and conceptual data, and each chapter opens up its subject with indications for further reading. The Industrial Revolution and British Society offers a topical overview on perspectives of this central historical problem, and will be widely used as a course text by teachers in the Anthony WrigleyIn the mid-sixteenth century, England was a small country on the periphery of Europe with an economy less advanced than those of several of its continental neighbors. In 1851, the Great Exhibition both symbolized and displayed the technological and economic lead that Britain had then taken. A half-century later, however, there were only minor differences between the leading economies of Western Europe. To gain insight into both the long period during which Britain outpaced its neighbors and the decades when its lead evaporated, it is illuminating to focus on the energy supply. Energy is expended in all productive activities. The contrast between the limitations inherent to organic economies dependent on the annual round of plant photosynthesis for energy and the possibilities open to an economy able to make effective use of the vast quantity of energy available in coal measures is key both to the understanding of the lengthy period of Britain's relative success and to its subsequent swift decline. © 2018 by the Massachusetts Institute of Technology and The Journal of Interdisciplinary History, Istilah Karya Tulis IlmiahT KomaruddinKomaruddin, T. 2007. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta penerbit Bumi Penelitian Kualitatif Seni Rupa dan Desain. Pusat Studi Reka Rancang Visual dan Lingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupa dan DesainSumartonoSumartono. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif Seni Rupa dan Desain. Pusat Studi Reka Rancang Visual dan Lingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tempoe Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930A SurjomihardjoSurjomihardjo, A. 2008. Yogyakarta Tempoe Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta Komunitas Bambu.
MELACAK SEJARAH MOTIF BATIK KERATON Prof. Dr. Sujoko Alm., pakar seni rupa dari ITB pernah menyampaikan di Yogyakarta bahwa pelukis pertama dari Indonesia adalah perempuan Jawa yang “melukis” dengan canting di atas bahan tenunannya. Melukis dengan canting, sudah jelas yang dimaksud tentu membatik. Dan, merujuk pada penjelasan waktu pada kalimat sang profesor tersebut, sudah sangat menjelaskan pula bahwa batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” yang diaplikasikan ke atas kain untuk menahan masuknya bahan pewarna. Dari zaman kerajaan Mataram Hindu sampai masuknya agama demi agama ke Pulau Jawa, sejak datangnya para pedagang India, Cina, Arab, yang kemudian disusul oleh para pedagang dari Eropa, sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dalam perjalanannya memunculkan Keraton Yogyakarta dan Surakarta, batik telah hadir dengan corak dan warna yang dapat menggambarkan zaman dan lingkungan yang melahirkan. Pada abad XVII, batik bertahan menjadi bahan perantara tukar-menukar di Nusantara hingga tahun-tahun permulaan abab XIX. Memang. Ketika itu batik di Pulau Jawa yang menjadi suatu hasil seni di dalam keraton telah menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara. Menurut Mari S. Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, di lingkungan bangsawan keraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan keraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Dahulu, kain batik dibuat oleh para putri sultan sejak masih berupa mori, diproses, hingga menjadi kain batik siap pakai. Semuanya dikerjakan oleh para putri dibantu para abdi dalem. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Murdijati Gardjito dari Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, membatik di lingkungan keraton merupakan pekerjaan domestik para perempuan. Sebagai perempuan Jawa, ada keharusan bisa membatik, karena membatik sama dengan melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa, dan olah karsa. Keberadaan batik Yogyakarta tentu saja tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan istana. Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik yang termasuk larangan antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak. Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik. Kalaupun batik di keraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Keraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut. Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Keraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga keraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati. Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri keraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Keraton KasultananYogyakarta dan warna batik Keraton Surakarta. Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Keraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Keraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya. Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya. Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan keraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya. Barangkali sah-sah saja. Tetapi selama itu masih bernama batik, maka sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa pemilik aslinya. Bukankah kata “batik” amba titik, sudah menjelaskan dari mana asal muasal bahasanya? Sumber Melacak Sejarah Motif Batik Kraton
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID _De6WXMPVOHLUKCKttcfz6pt4aOQ94ZSOND7zKQQXMV_aGo1wGZV8w==
industri batik di surakarta dan yogyakarta termasuk industri